Selasa, 25 September 2018

Observatorium Bosscha ITB

Buat kita yang angkatan 90-an, kata "Bosscha" mungkin sudah tidak asing didengar. Apalagi untuk yang masa kecilnya pernah nonton film "Petualangan Sherina". Tempat ini merupakan salah satu lokasi dalam film yang membekas diingatan. Terlebih lagi kalau ingat lagu "Bintang" yang dinyanyikan Sherina dalam film tersebut.
Nah, biasanya masyarakat umum menyebut bangunan dengan atap bulat dengan fasad yang sangat khas ini sebagai "Bosscha". Ups... padahal, sebenarnya Bosscha adalah nama kawasan seluas 8 Ha milik ITB yang selain digunakan sebagai area Observatorium, juga ada lahan yang cukup luas dan dijaga kelestariannya. Nama Bosscha sendiri diambil dari nama seorang pengusaha perkebuan teh dari Belanda yang bernama Karel Albert Rudolf Bosscha. Beliau adalah menjadi perintis dan penyandang dana untuk para peneliti astronomi termasuk untuk pembangunan di Observatorium Bosscha.
Observatorium Bosscha adalah lembaga riset yang berada di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB). Hingga saat ini, Observatorium Bosscha merupakan satu-satunya observatorium besar di Indonesia. Observatorium Bosscha menjadi pusat penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu Astronomi di Indonesia.
Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Oleh karena itu, keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus
diamankan.
Lokasi Observatorium Bosscha ada di Jl. Peneropongan Bintang No.45, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 40391. Transportasi menuju Observatorium Bosscha bisa menggunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Bagi yang ingin datang berkunjung secara rombongan, disarankan untuk tidak membawa bis karena bis tidak bisa naik sampai ke area dekat Observatorium Bosscha. Jika menggunakan bis atau kendaraan besar harus di parkir di bawah, kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki kurang lebih 1 km sampai gerbang atas area Observatorium Bosscha.
Bagi yang ingin menggunakan kendaraan umum, ada beberapa alternatif (sesuai dengan titik start):
a.    Dari Stasiun Hall Bandung
Naik Angkutan Kota St. Hall – Lembang, turun di gerbang bawah Observatorium.
b.    Dari Terminal Bus Cicaheum
Naik Angkutan Kota Cicaheum – Ledeng, Turun di terminal Ledeng,  dilanjutkan naik St. Hall – Lembang, Turun di gerbang bawah Observatorium.
c.    Dari Terminal Leuwi Panjang
Naik Bus Damri arah Ledeng. Dari Ledeng naik St. Hall – Lembang,  turun di gerbang bawah Observatorium.
Kalau untuk estimasi tarif kendaraan umumnya, mohon maaf saya kurang tahu ^^.

Di Area Observatorium Bosscha, selain rumah teropong/ teleskop juga terdapat beberapa bangunan dan fasilitas diantaranya:
·         Ruang Multimedia
·         Perpustakaan
·         Wisma
·         Bengkel Teknik
·         Musholla

Saat ini ada 8 teropong di area Observatorium Bosscha:
1. Teleskop Refraktor Ganda Zeiss (teleskop terbesar)
2. Teleskop Schmidt Bima Sakti
3. Teleskop Refraktor Bamberg
4. Teleskop Cassegrain GOTO
5. Teleskop Refraktor Unitron
6. Teleskop Surya
7. Teleskop radio 2,3m
(yang satu lagi saya tidak tahu nama teropongnya)
Saat berada di dalam rumah teropong, kami berdiri di luar pagar pembatas yang mengelilingi Teleskop Refraktor Ganda Zeiss. Pak Denny Mandey, berada di tengah lingkaran area teleskop sambil menyampaikan informasi tentang Observatorium Bosscha. Beberapa informasi yang berhasil saya ringkas diantaranya:
  1. Teleskop Refraktor Ganda Zeiss adalah teropong paling besar yang ada di Indonesia dengan panjang teleskop kurang lebih11 meter, dan berat 17 ton. Teleskop ini bekerja di malam hati dan umurnya sudah 89 tahun (2018). Teknologi teleskop masih jaman dulu masih dan untuk mengoperasikannya masih menggunakan tenaga manusia. Saat ini ada dua kamera digital tambahan di teleskop Refraktor Ganda Zeiss yang bisa langsung terhubung dengan komputer.
  2. Lantai di area teropong yang berbentuk lingkaran dengan lantai beton, bisa dinaik turunkan posisinya (vertikal), agar jangkauan mata peneropong bisa tepat di lensa pembidik. maksimal ketinggian lantai jika digerakkan adalah 3,8m. Untuk menggerakkannya cukup menggunakan remote. Mesin penggerak terletak di bawah lantai, dan untuk perawatan bisa dengan membuka bagian tengah lantai (berbentuk segi 6) yang di bawahnya terdapat mesin. Lantai ini hanya bisa menanggung beban seberat 200 kg, jadi saat melakukan penelitian atau peneropongan hanya bisa 2 atau 3 orang saja.
  3. Di atas area Teleskop Refraktor Ganda Zeiss juga terdapat kursi santai yang biasa digunakan peneropong untuk duduk sambil mengamati bintang ganda yang biasa dilakukan mulai jam 7 malam sampai menjelang subuh (sebelum cahaya matahari muncul). Dan peneropongan hanya bisa dilakukan jila cuaca cerah dan langit tidak tertutup awan. Selain itu untuk memaksimalkan kinerja teleskop, jika waktu kerja peneropongan, maka area observatorium akan dimatikan lampunya (baik di rumah teropong) maupung kawasan observatorium bosscha. Hal ini dilakukan agar cahaya sekeliling tidak mengganggu proses peneropongan.
  4. Rumah teropong adalah karya seorang arsitek bernama Prof.Charles Prosper Wolff Schoemaker    sumber foto: https://id.wikipedia.org. Bangunan rumah teropong ini sangat kuat dari sisi strukturbangunannya. Mulai dari dibangun pada tahun 1920 sampai saat ini belum pernah mengalami renovasi yang berarti. Bangunan ini memiliki atap berbentuk kubah yang bisa berputar 360" menggunakan mesih, dan bisa terbuka membelah bagian atasnya selebar 2 meter. Karena bangunan ini sudah termasuk bangunan cagar budaya, maka untuk segala bentuk perubahan atau renovasi harus melalui perijinan yang ketat. Seperti pada saat penambahan peredam suara di dinding dalam ruangan rumah teropong, harus melalui izin terlebih dahulu. Penambahan peredam suara dikarenakan desain dalam ruangan sangat sempurna pemantulan suaranya, jika kita berbicara lirih dari salah satu sudut maka akan cukup jelas di dengat dari sisi lainnya. Jika ada kegiatan yang membutuhkan pengeras suara dalam ruangan, maka akan jadi sangat bising suara yang ditimbulkan, sehingga butuh peredam. 
Untuk saat ini, observatorium Bosscha mengalami permasalahan yakni polusi cahaya yang semakin parah di kawasan Bandung Utara mengakibatkan terganggunya pengamatan benda langit yang dilakukan. Dulu saat awal dibangun, dalam satu tahun ada 200 malam cerah dimana peneliti astronomi bisa mengamati bintang ganda, saat ini dalam satu tahun hanya kurang lebih 30 malam cerah yang bisa untuk pengamatan. Karena permasalahan tersebut, maka tim riset astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memilih lokasi baru untuk observatorium yakni di Kupang-NTT. Kupang, dipilih sebagai lokasi Observatorium Bosscha yang baru karena wilayahnya paling kering di Indonesia. Selain itu, potensi kecerahan langitnya pun lebih tinggi dibandingkan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lokasi tepatnya di pegunungan Timau, Kecamatan Amfoang Tengah, Kab. Kupang.Observatorium di Kupang ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara.

Observatorium Boscha ini juga dibuka untuk masyarakat umum. Untuk kunjungan siang, pengunjung bisa melihat cara kerja Teropong Zeiss (Bukan meneropong lho...) dan nantinya akan mendapat informasi pengantar astronomi di ruang multimedia. Untuk itu pengunjung bisa mendaftar dulu dengan biaya Rp 15.000/orang. Jika kunjungan tersebut dilakukan malam hari maka biayanya Rp. 20.000,-/orang. Untuk Cara pendaftaram dan pembayaran bisa dilihat di website boscha. Di website tersebut juga lengkap mencantumkan aturan untuk pengunjung, dan jadwal kunjungan.
Kalau dilihat dari jadwal kunjungan yang tertera di website, kami termasuk beruntung karena kami melakukan kunjungan diluar jadwal tersebut yakni hari Senin. Mungkin karena kami kunjungan atas nama ITB untuk kegiatan Magang Dosen. Alhamdulillah...


Referensi :
https://bosscha.itb.ac.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar